Badannya kekar, sempurna bentuk
tubuhnya, lincah gerak-geriknya, cerdas otaknya, jenius akalnya, antusias
terhadap kebajikan, dan menjauhi dosa. Meski hitam warna kulitnya, keriting
rambutnya, dan asalnya dari Habsyi, namun tidaklah jatuh rasa percaya dirinya
untuk menjadi manusia yang istimewa, apalagi umurnya masih muda.
Pemuda yang berasal dari Habsyi asli dan menjadi warga Arab ini sadar betul bahwa ilmu adalah jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan takwa adalah jalan yang menuntunnya ke surga. Oleh sebab itu, dijadikannya takwa di sisi kanannya dan ilmu di sisi kirinya. Keduanya dipadukan dengan ikatan yang erat.
Dengan dua hal tersebut beliau
mengarungi samudra kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan. Sejak
beliau masih muda, orang-orang telah mengenalnya sebagai pemuda yang akrab
dengan buku-buku yang ia baca. Atau jika mereka tidak mendapatkannya sedang
membaca buku, maka beliau tengah di mihrabnya untuk ibadah. Itulah dia manusia
pilihan di zamannya, Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu.
Pemuda Sa’id ini berguru kepada
banyak sahabat senior, seperti Abu Sa’id al-Khudri, Adi bin Hatim ath-Thayy,
Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi, Abdullah bin Umar maupun Ummul
Mukminin Aisyah. Tapi guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhu, guru besar umat Islam dan lautan ilmu yang luas.
Dengan setiap Sa’id bin Jubair
mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya.
Dari sahabat inilah beliau menggali tafsir Alquran, hadis-hadis, dan
seluk-beluknya. Darinya pula beliau mendalami persoalan agama maupun tafsirnya.
Juga mempelajari bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada
seorang pun di muka bumi ini kecuali memerlukan ilmunya.
Selanjutnya, beliau mengembara dan
berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu sesuai kehendak Allah.
Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah sebagai tempat tinggalnya. Dan
kelak beliau menjadi guru dan imam di kota itu.
Beliau menjadi imam shalat bagi kaum
muslimin di bulan Ramadhan, terkadang membaca Alquran dengan qira’ah Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, terkadang dengan qira’ah Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu dan terkadang dengan qira’ah selainnya.
Jika beliau shalat sendirian,
adakalanya beliau khatamkan Alquran dalam sekali shalat. Dan sudah menjadi
kebiasaan beliau apabila membaca ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“(Yaitu) orang-orang yang
mendustakan al-Kitab (Alquran) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang
telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai
dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat
panas, kemudian mereka dibakar dalam api.” (QS. Al-Mukmin: 70-72)
Atau ketika membaca ayat-ayat serupa
yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya, dan
menetes air matanya. Kemudian mengulang-ulang ayat tersebut sampai adakalanya
hampir pingsan.
Beliau melakukan perjalanan ke
Baitullah al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah pada bulan Rajab
untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji.
Orang-orang yang merindukan ilmu dan
kebaikan datang berduyun-duyun ke Kufah untuk menghirup sumber ilmu yang jernih
dari Sa’id bin
Jubair. Beliau ditanya, “Apakah khasyyah
(takut) itu?” beliau menjawab, “Khasyyah adalah bahwa engkau harus takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga rasa takutmu menghalangi dirimu dari
perbuatan maksiat.”
Ketika ditanya tentang dzikir,
beliau berkata, “Dzikir itu adalah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Barangsiapa menyahut seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati-Nya,
berarti dia berdzikir kepada-Nya. Adapun orang yang berpaling dan tak mau taat,
maka dia bukanlah termasuk ahli dzikir, meski dia bertasbih dan membaca Alquran
semalam suntuk.”
Kota Kufah yang menjadi pilihan
beliau untuk menetap ketika itu di bawah kepemimpinan gubernur Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi. Kekuasaan Hajjaj meliputi Irak dan seluruh Masyriq serta negeri di
seberangnya, dia memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan.
Dia telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak
di bawah kekuasaan Bani Umayah dan memadamkan pemberontakan di sana-sini. Menghunus
pedangnya ditengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri
kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.
Melawan
Kekejaman Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi
Suatu ketika takdir Allah
menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dengan
salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen
akhirnya berkembang menjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban,
meninggalkan bekas luka yang dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin.
Ada yang berkata bahwa fitnah
tersebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibnu Asy’ats bersama pasukannya untuk
menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan.
Maka berperanglah panglima yang
tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai
sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang
kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian
panglima itu mengirim utusan untuk menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan
kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dan ghanimah untuk baitul
maal milik kaum muslimin. Selain itu dia juga menulis surat, minta izin untuk
sementara menghentikan perang. Agar dia dapat mempelajari seluk-beluk medan
maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk
menyerbu daerah pedalaman yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang
sebelumnya telah berhasil mendapatkan kejayaan.
Namun Hajjaj murka dengan pendirian
panglima tersebut. Dia menulis surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh
Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari
gubernurnya datang. Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan
pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tersebut untuk kemudian
dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil.
Ternyata para komandan itu
menyarankan untuk menentang perintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, “Apakah
kalian bersedia berbaiat untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan
bumi Irak dari kezalimannya?” akhirnya mereka melakukan baiat kepada
panglimanya.
Tentara Abdurrahman bin Asy’ats
bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah
pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan Ibnu Yusuf, dan pasukan
Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu menguasai Sajistan serta
sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah
dan Basrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf.
Perang masih berkecamuk antara dua
kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota. Hal itu membuat kemarahan
Hajjaj memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai
daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah
yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban membayar jizyah. Mereka
telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya
pendapatan negara. Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Basrah dan
kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan
mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka
yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah
besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencahariannya.
Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak-istrinya dan dipaksa kembali
ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan.
Para wanita, anak-anak dan
orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil
berseru, “Wahai umat Muhammad.. wahai umat Muhammad.” Mereka bingun hendak
berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan
ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta mengusahakan agar perintah
tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis
karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah
tersebut.
Kekecewaan para ulama itu
dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung
perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun
tangan, di antara termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam
asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.
Perang besar antara kedua belah
pihak meletus. Mula kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy-ats, tapi kemudian
sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj berada di atas angin,
sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’at melarikan
diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.
Setelah itu, Hajjaj memerintahkan
pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui baiatnya.
Di antara mereka ada yang menaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id
bin Jubair.
Orang-orang yang menyerah itu datang
untuk berbaiat, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga.
Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah engkau mengaku
kafir karena telah membatalkan baiatmu kepada amirmu? Jika dia menjawab, “Ya”
maka diterima baiatnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, “Tidak”
maka dibunuh.
Sebagian dari mereka yang lemah,
tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi keselamatan dirinya. Sedangkan sebagian
lagi tetap teguh dan tidak meingdahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus
membayar dengan lehernya.
Menurut kabar yang tersebar,
penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan selainnya
selamat setelah mengaku kafir.
Dalam kejadian lain, ada orang tua
dari suku Khat’am. Ketika terjadi huru-hara dan kekacauan antara dua kubu, dia
tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di
belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya
tentang dirinya.
Orang Tua: “Semenjak meletus
pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang
usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk
melakukan baiat.”
Hajjaj: “Celakalah engkau! Engkau
tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang
apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”
Orang tua: “Terkutuklah aku jika
selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj: “Jika demikian aku akan
membunuhmu.”
Orang tua: “Jika engkau membunuhku..
demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu
kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati.
Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu,
lakukanlah semaumu.
Akhirnya orang tua itupun dipenggal
lehernya. Tak seorang pun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ
yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut serta memintakan
rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil
Kamil bin Ziyad an-Nukhai dihadapkan dari ditanya:
Hajjaj: “Apakah engkau mengakui
dirimu telah kafir?”
Kamil: “Tidak. Demi Allah aku tidak
akan mengakuinya.”
Hajjaj: “Bila demikian, aku akan
membunuhmu.”
Kamil: “Silakan saja kalau engkau
mau melakukannya. Kelak akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada
perhitungannya.”
Hajjaj: “Ketika itu, kesalahan
berada di pihakmu.”
Kamil: “benar, bila engkau yang
menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj: “Bunuh dia!”
Lalu beliaupun dibunuh…
Selanjutnya dihadapkan pula
seseorang yang sudah lama menjadi burnonan Hajjaj karena dianggap menghinanya.
Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang di hadapanku ini mustahil mengakui dirinya
kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan
jangan pula berdusta tentang diriku. Sesungguhnya akulah orang yang paling
kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.”
Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran
tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh
pendiriannya. Dan ribuah lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya
kafir. Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau dia tertangkap, maka akan
menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau
mengakui dirinya kafir. Dua pilhan, yang paling manis dari keduanyapun begitu
pahit. Oleh sebab itu, beliau memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri
dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi
agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di
sebuah desa di dekat Mekah.
Selama sepuluh tahun beliau tinggal
di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian
Hajjaj.
Akan tetapi, ternyata ada
perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Mekah,
yaitu Khalid bin Abdullah al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayah. Para
sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu
tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti
akan menangkap Sa’id bin Jubair.
Di antara mereka segera menemui
Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Mekah. Demi Allah,
kami khawatir akan diri Anda, maka sebaiknya Anda keluar saja dari sini.” Namun
beliau menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku telah memutuskan akan tetap
tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.”
Dugaan orang-orang tentang kekejaman
Khalid ternyata tak meleset. Begitu mendengar dan mengetahui tempat
persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk
menangkap Sa’id, mengikat lalu mengirimkannya kepada Hajjaj di kota Wasit
nanti.
Tentara Khalid mengepung rumah
syaikh tersebut lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para
sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj.
Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya
dan berkata,
“Saya merasa akan terbunuh di tangan
penguasa yang zalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan
ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada
Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua kawan tersebut
sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”
Belum lagi beliau selesai
bicara,seorang gadis cilik muncul dan demi melihat beliau diikat dan diseret
oleh para prajurit, dia langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id
menghiburnya dengan lembut dan berkata, “Katakanlah kepada ibumu wahai putriku,
kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah.” Bocah itupun pergi.
Sampailah utusan yang membawa Sa’id
seorang imam yang zahid, ‘abid, dan berbakti itu di kota Wasit. Sa’id
dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf.
Setelah Sa’id berada di hadapan
Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya:
Hajjaj: “Siapa namamu?”
Sa’id: “Sa’id (bahagia) bin Jubair
(perkasa).”
Hajjaj: “Yang benar engkau adalah
Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh).”
Sa’id: “Ibuku lebih mengetahui
namaku daripada engkau.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu
tentang Muhammad?”
Sa’id: “Apakah yang kau maksud
adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Hajjaj: “Benar.”
Sa’id: “Manusia utama di antara
keturunan Adam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik di antara manusia yang
hidup dan yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban
risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menunaikan nasihat bagi Allah,
kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu
tentang Abu Bakar?”
Sa’id: “Ash-Shiddiq, khalifah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat dengan terpuji
dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tanpa merubah ataupun mengganti sedikitpun darinya.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu
tentang Umar?”
Sa’Id: “Beliau adalah al-Faruq,
dengannya Allah membedakan antara yang haq dengan yang batil. Beliau adalah
manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak
kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan mati sebagai syuhada.”
Hajjaj: “Bagaimana dengan Utsman?”
Sa’id: “Beliau yang membekali
pasukan Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur “Ruumah”
dan membeli rumah untuk dirinya di Surga. Beliau adalah menantu Rasulullah atas
dua orang putri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit. Lalu terbunuh
di tangan orang zalim.”
Hajjaj: “Bagaimana dengan Ali?”
Sa’id: “Beliau adalah Putra paman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemuda pertama yang memeluk
Islam. Beliau adalah suami Fathimah radhiallahu ‘anha putri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ayah dari Hasan dan Husein
yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli Surga.”
Hajjaj: “Khalifah yang mana dari
Bani Umayah yang paling kau sukai?”
Sa’id: “Yang paling diridhai
Pencipta mereka.”
Hajjaj: “Manakah yang paling
diridhai Rabb-nya?”
Sa’id: “Ilmu tentang itu hanyalah
diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zahir dan yang tersembunyi.”
Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu
tentang diriku?”
Sa’id: “Engkau lebih tahu tentang
dirimu sendiri.”
Hajjaj: “Aku ingin mendengarkan
pendapatmu.”
Sa’id: “Itu akan menyakitkan dan
menjengkelkanmu.”
Hajjaj: “Aku harus tahu dan
mendengarnya darimu.”
Sa’id: “Yang kuketahui, engkau telah
melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihatan hebat padahal
justru membawamu ke arah kehancuran dan menjurumuskanmu ke neraka.”
Hajjaj: “Kalau begitu, demi Allah
aku akan membunuhmu.”
Sa’id: “Bila demikian, maka engkau
merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu.”
Hajjaj: “Pilihlah bagi dirimu
cara-cara kematian yang kau sukai.”
Sa’id: “Pilihlah sendiri wahai
Hajjaj. Demi Allah, untuk setiap cara yang kau lakukan, Allah akan membalasmu
dengan cara yang setimpal di akhirat nanti.”
Hajjaj: “Tidakkah engkau
menginginkan ampunanku?”
Sa’id: “Ampunan itu hanyalah dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan
lagi di hadapan-Nya.”
Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada
algojonya diperintahkan: “Siapkan pedang dan alasnya!”
Sa’id tersenyum mendengarnya,
sehingga bertanyalah Hajjaj,
Hajjaj: “Mengapa engkau tersenyum?”
Sa’id: “Aku takjub atas
kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu.”
Hajjaj: “Bunuh dia sekarang!”
Sa’id: (Menghadap kiblat sambil
membaca firman Allah Ta’ala):
“Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah.” (QS. Al-An’am: 79)
Hajjaj: “Palingkan ia dari kiblat!”
Sa’id: (Membaca firman Allah Ta’ala)
“Dan kepunyaan Allah-lah timur
dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS.
Al-Baqarah: 115)
Hajjaj: “Sungkurkan dia ke tanah!”
Sa’id: (Membaca firman Allah Ta’ala)
“Dari bumi (tanah) itulah Kami
menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami
akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha: 55)
Hajjaj: “Sembelihlah musuh Allah
ini! Aku belum pernah menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah
Subhanahu wa Ta’ala seperti dia.”
Sa’id: (Mengangkat kedua tangannya
sambil berdoa), “Ya Allah jangan lagi Kau beri kesempatan ia melakukannya atas
orang lain setelah aku.”
Tak lebih dari lima belas hari
setelah wafatnya Sa’id bin Jubair, mendadak Hajjaj bin Yusuf terserang demam.
Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya
hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak lagi
nyenyak, sebentar-sebentar terbangun dengan ketakutan dan mengigau: “Ini Sa’id
bin Jubair hendak menerkamku! Ini Sa’id bin Jubair berkata: “Mengapa engkau
membunuhku?” Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri: “Apa yang telah aku perbuat
atas Sa’id bin Jubair? Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!”
Kondisi itu terus berlangsung hingga
dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya.
Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj: “Apa yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?”
Dia menjawab, “Aku disiksa dengan
siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin
Jubair aku disiksa 70 kali lipat.”
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in,
Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009Dipublikasikan
oleh : Kisahmuslim.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar