Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
KEMAJUAN teknologi
membantu para orangtua dalam mengasuh anak tanpa mengasihi. Anak-anak
tenang sehingga orangtua dapat semakin tenggelam dalam kesibukan yang
seolah-olah sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Sibling rivalry atau perseteruan
antar saudara lebih mudah dihindari dengan memanfaatkan teknologi
canggih. Mudah, sederhana dan melalaikan. Mau tahu caranya? Dua anak
yang nyaris sebaya tak perlu ribut bertengkar karena berebut roti tawar.
Dua HP cukup untuk membuat mereka tenang, asyik dengan gadget,
meski tak ada makanan yang disiapkan buat mereka. Berbekal gadget untuk
masing-masing anak, mereka tidak perlu ribut satu sama lain. Tetapi
mereka tidak pula bermain bersama.
Inilah paradoks teknologi informasi dan komunikasi (ICT: Information and Communication Technology).
Makin canggih alat komunikasi, makin menjauhkan manusia dari komunikasi
berkualitas. Makin bergeser pula fungsi informasinya ke arah hiburan
semata. Kian banyak yang kecanduan gadget dari usia dini. Kasus anak
kecanduan gadget bahkan telah menimpa semenjak anak usia 3 tahun
sebagaimana terjadi di Korea Selatan tahun 2012. Kasus ini masih merebak
hingga kini.
Bersebab kecanduan piranti digital,
anak-anak tak lagi mengenal permainan yang menggalang kebersamaan dan
kerjasama sekaligus mengasah empati semacam petak umpet atau gobag
sodor. Ketika anak usia 3 tahun pun dapat terjangkiti digital addiction
(kecanduan peranti digital), akan sulit bagi mereka untuk melakukan
permainan alami. Anak-anak itu pun bahkan mengalami kesulitan untuk
melakukan kontak sosial dan tatap muka dengan baik. Handicapped.
Maka, anak-anak yang tidak memiliki
riwayat genetis maupun terpapar sebab-sebab fisik pencetus autisme,
dapat mengalami gejala autisme. Mirip, tapi sama sekali berbeda. Muncul
istilah autisme sosial (social autism), meskipun sebenarnya tak
dikenal dalam kajian autisme. Sebab sesungguhnya mereka tidak autis.
Jadi, autisme sosial sama sekali bukanlah istilah yang berhubungan
dengan autisme. Tetapi ini lebih berkait akibat kecanduan gadget. Secara
pribadi, saya lebih suka menggunakan istilah kecanduan gadget atau keterasingan diri, bukan autisme sosial, meskipun dampak kecanduan gadget memang luas.
Apa yang harus kita lakukan jika anak sudah kecanduan gadget?
Ups. Periksa dulu, jangan-jangan kita yang perlu terapi terlebih dulu.
Apa yang kita kerjakan pertama kali saat hadapi hidangan di resto?
Jangan-jangan belum mencicipi sudah sebar foto.
Apa yang dapat kita lakukan? Beragam,
sesuai kondisi anak. Tapi kunci pentingnya adalah kesediaan meluangkan
waktu untuk anak kita. Sengaja meluangkan waktu akan menjadi saat
berharga untuk anak kita. Inilah saatnya berbincang dan berbagi cerita
dengan mereka. Semoga anak-anak kita merasakan betapa berharga
kesempatan berjumpa, berbincang dan bercanda dengan kita. Mereka
senantiasa merindui itu.
Gadget bukan terlarang. Tapi kita perlu menyiapkan mereka dan kita sendiri agar kehadirannya menjadi jalan kebaikan. Gadget benar-benar berfungsi sebagai teknologi informasi dan komunikasi.*
Sumber : Hidayatullah.com
Rubrik : Meminang Syurga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar