Oleh : Muchlis M Hanafi
Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Cahayanya menjadi penerang bagi manusia dalam meniti jalan menuju kebahagiaan. Sebagai karunia terbesar, Al-Qur`an menjadi obat penyejuk hati dan rahmat bagi siapa pun, lebih-lebih yang berpegang teguh pada petunjuknya. Tak heran, bila umat Islam sepanjang sejarah berupaya memberi perhatian terhadap segala sesuatu yang terkait Al-Qur`an. Tidak ada kitab apa pun di dunia ini yang mendapat perhatian melebihi perhatian umat Islam terhadap Al-Qur`an, mulai dari tulisan, bacaan dan hafalan, sampai kepada pemahaman dan pengamalan. Tidak berlebihan bila ada pakar yang berkata, Al-Qur`an telah menjadi poros bagi peradaban Islam.
Bacaan Al-Qur`an mendapat perhatian
besar, bukan saja karena setiap huruf yang dibaca mendatangkan pahala, tetapi
juga karena bacaan yang berkualitas akan menambah keimanan dan ketenangan (QS.
Al-Anfal: 2). Ketika dibacakan Al-Qur`an, hati orang beriman akan bergetar, dan
kulit pun merinding karena keagungan kalam Tuhan (QS. Al-Zumar: 23). Bahkan,
seperti dilukiskan dalam QS. Al-Hasyr: 21 gunung-gunung pun tertunduk khusyuk
dan pecah berkeping-keping seandainya Al-Qur`an diturunkan kepadanya.
Bacaan dengan suara yang indah dan
merdu, lebih-lebih Al-Qur`an, akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan
hati serta menarik perhatian untuk didengar, sehingga pesan-pesannya lebih
mudah diterima. Ibnu al-Qayyim mengilustrasikannya seperti rasa manis yang
diletakkan pada obat. Orang tak akan segan meminumnya, sehingga efek obat akan
terasa ketika menyentuh titik penyakit yang akan disembuhkannya.
Rasulullah, dalam banyak riwayat
disebutkan senang mendengar bacaan Al-Qur`an yang merdu, bahkan menganjurkan
untuk memperindah bacaan. Atas dasar itu, para ulama dan qurrâ` (pembaca
dan penghafal Al-Qur`an) mencari formula suara bacaan yang merdu, sehingga
terciptalah bentuk-bentuk nagham (nada dan irama bacaan) yang dikenal
hingga saat ini. Di antara nada dan irama (naghamât) yang sangat populer
adalah Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand. Adalah
Ubaidillah (w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, yang
pertama kali membaca Al-Qur’an dengan nada dan irama dalam maqâmât
seperti dikenal saat ini.
Dari sekian banyak bentuk nagham,
tidak diketahui persis suara indah bacaan generasi pada masa Nabi. Apakah
menggunakan nada dan irama/ langgam tertentu, atau tidak. Oleh karenanya, sejak
dulu para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan membaca Al-Qur`an dengan
lagu. Pertanyaan hukum yang muncul, bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan
para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah? Apakah dibolehkan menggunakan
lagu dalam bacaan? Keterbatasan transmisi suara bacaan generasi awal Islam,
karena belum dikenal alat perekam suara, melahirkan perbedaan pandangan di
kalangan ulama.
Bila dengan langgam yang sudah
populer saja masih diperdebatkan kebolehannya, lebih-lebih bila menggunakan
langgam-langgam baru yang belum dikenal sebelumnya, seperti langgam Jawa, Sunda
atau lainnya yang ada di Nusantara. Tak pelak, ketika pada peringatan Isra
Miraj di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015, seorang qari melantunkan bacaan
Al-Qur’an dengan cengkok atau langgam Jawa, langkah ini menuai kontroversi.
Gagasan ini sebelumnya dilontarkan Menag saat menghadiri Milad ke-18 Bayt
Al-Qur`an dan Museum Istiqlal di Jakarta. Ia mengatakan, langgam bacaan
Al-Quran khas Nusantara, dengan kekayaan alam dan keragaman etniknya, menarik
untuk dikaji dan dikembangkan. Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah
ilmu tajwid.
Sebelum itu, dunia Islam pernah
dibuat heboh akibat ulah kreatif putra Indonesia. Avip Priatna,salah seorang
konduktor terbaik Indonesia dalam khazanah musik klasik,menggelar konser
orkestra “The Symphony of My Life” pada 3 Desember 2011.Dalam konser
yang diiringi musik oleh Batavia Madrigal Singers (BMS) dan Paduan Suara
Mahasiswa Unika Parahyangan, Avip mengalunkan bacaan QS. Al-Hujurat: 13 yang
menjelaskan keragaman suku dan bangsa diiringi irama yang mengharukan dengan
dinamika bunyi yang menggetarkan.
Persoalan ini perlu mendapat
penjelasan hukum, sebab boleh jadi akan muncul kreativitas baru dalam bacaan
Al-Qur`an di bawah semangat melantunkan Al-Qur`an dengan suara merdu. Tulisan
ini akan berusaha memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang muncul; 1)
Bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan para Sahabatnya yang dikenal merdu dan
indah?; 2) Bagaimana sejarah munculnya nagham bacaan Al-Qur`an?; 3)
Bagaimana pandangan ulama tentang hukum membaca Al-Qur`an dengan lagu?, dan; 4)
Apakah dalam melagukan bacaan dibolehkan menggunakan langgam selain langgam
yang sudah populer, seperti langgam Nusantara?
Bacaan Nabi Saw dan Sejarah Naghamât
Bacaan Al-Qur`an
Rasulullah adalah panutan dan
teladan dalam segala hal yang terkait ibadah, termasuk dalam membaca Al-Qur`an.
Bacaan setiap Muslim hendaknya menyerupai bacaan Nabi Saw, sebab beliau
menerima langsung Al-Qur`an dari Allah melalui Malaikat Jibril (QS. Al-Syu’ara
: 135-139).
Sesuai perintah Allah, bacaan Nabi
bersifat tartîl (QS. Al-Muzzammil; 3), yaitu perlahan-lahan dalam
melafalkan huruf-huruf Al-Qur`an, sehingga bunyi huruf tersebut keluar dari
mulut dengan jelas. Isteri beliau, Aisyah RA, memberi gambaran, huruf-huruf
yang keluar mulut beliau seperti bisa dihitung satu per satu. Tujuannya, agar
dapat dihafal dan diterima pendengarnya dengan baik. Yang membaca dan
mendengarnya pun dapat men-tadabburi makna-maknanya, sehingga ucapan
lisan tidak mendahului kerja akal dalam memahami (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr,
29/260).
Sahabat Nabi, Anas bin Malik, pernah
ditanya tentang bacaan Nabi. Ia menjawab, Nabi biasa memanjangkan huruf-huruf
yang perlu dibaca panjang untuk meresapi maknanya (HR. Al-Bukhari). Pada setiap
akhir ayat Nabi berhenti.
Nabi pernah ditegur oleh Allah
ketika membaca Al-Qur`an cepat-cepat mengikuti bacaan Malikat Jibril.
لَاتُحَرِّكْ
بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَبِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَاجَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17)
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
(19) [القيامة: 16 - 19]
Jangan engkau (Muhammad) gerakkan
lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya.Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya (QS. Al-Qiyamah; 16-19).
Suara bacaan Nabi pun terdengar
indah dan merdu. Salah seorang Sahabat, al-Barra Ibn Azib RA, yang pernah
mendengar Nabi membaca surah al-Tin dalam salat melaporkan, tidak ada orang yang
bisa menandingi keindahan suara bacaan Nabi. Di lain kesempatan, Abdullah Ibn
Mughaffal, mengilustrasikan keindahan suara bacaan Nabi ketika melantunkan
surah al-Fath mampu membuat unta yang ditungganginya terperanjat. Saat itu Nabi
membacanya dengan lembut dan dengan suara mendayu seperti terulang
huruf-hurufnya (tarjî`), yaitu melafalkan huruf alif (â) seperti
terulang tiga kali (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Meski memiliki suara merdu, Nabi
senang mendengar bacaan merdu dari para sahabatnya. Abdullah Ibnu Mas’ud sempat
terheran, mengapa Nabi memintanya membacakan Al-Quran, padahal Al-Qur`an
diturunkan kepadanya. Dalam mendengar dan membaca Al-Qur`an tidak jarang air
mata bercucuran karena merasakan keagungan Tuhan yang menurunkan Al-Qur`an.
Klan Asy`ari adalah salah satu yang
dikenal memiliki suara merdu saat itu. Nabi Saw senang mendengar bacaan Abu
Musa al-Asy`ari, bahkan memujinya sebagai orang yang diberi ‘seruling’ Nabi
Daud, karena keindahan suaranya. Nabi Daud, seperti diriwayatkan Ibnu Abbas,
dikenal sering melantunkan pujian dan doa dalam Zabur hingga mencapai tujuh
puluh nada dan irama (lahn) secara bervariasi. Demikian pula Umar bin
Khattab sering meminta Abu Musa untuk memperdengarkan bacaannya yang
indah. Ia mengatakan, “siapa yang bisa melantunkan Al-Qur`an dengan lagu
seperti Abu Musa, lakukanlah”.
Meski banyak para sahabat Nabi
diketahui memiliki suara merdu dalam bacaan Al-Qur’an, dan Nabi menganjurkan
untuk memperindah bacaan, tetapi tidak diketahui persis nada dan irama bacaan mereka.
Membaca Al-Qur`an dengan suara merdu
disebut dengan beberapa istilah, antara lain al-taghannî, al-tarannum,
al-tathrîb, al-tarjî`, al-qirâ`atu bil alhân. Sedangkan nada dan irama atau
langgam yang biasa digunakan dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an disebut nagham
(jamak: naghamât). Bentuk atau tingkatannya disebut maqâmât. Yang
paling populer, antara lain Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan
Nahawand.
Nagham pada hakikatnya adalah paduan berbagai jenis suara yang
tersusun sehingga menjadi bunyi yang beraturan. Pencarian manusia terhadap nagham
berlangsung lama, dan bersifat alamiah. Orang biasa mendapatkan suara-suara
indah dari desiran angin, suara pepohonan, halilintar, kicauan burung, suara
binatang dan sebagainya. Angin yang bertiup di sela-sela pepohonan, seperti
pohon bambu, melahirkan suara merdu. Dari situ manusia belajar membuat alat
musik seperti seruling. Begitu juga, ketika kayu atau bambu ditabuh atau
dipukul akan menimbulkan suara, yang lama kelamaan suara itu dibuat semakin beraturan.
Demikian pula suara manusia, ketika berbagai jenis suara dipadukan akan
melahirkan nada dan irama yang enak didengar.
Oleh karenanya, ilmu seni suara
sudah dikenal lama, paling tidak sejak Yunani kuno. Aristoteles, Plato dan
pemikir Yunani lainnya telah berbicara tentang itu. Sebelum Nabi Muhammad
lahir, orang-orang Arab sudah mengenal kesenian musik yang digunakan untuk
mengiringi nyanyian para budak atau pembacaan syair. Tradisi ini terus
berlanjut pada masa Islam, tetapi dengan mengalihkan nada dan irama pada
nyanyian dan syair kepada Al-Qur`an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal
perkembangan naghamât (lagu) Al-Qur`an pada era selanjutnya. Meski dalam
perkembangannya, naghamât (lagu) bacaan Al-Qur`an memiliki karakter yang
berbeda dengan lagu pada seni musik biasa.
Jadi, penerapan nagham
sebagai unsur estetika dalam bacaan Al-Qur`an sudah tumbuh sejak periode awal
Islam. Kendati demikian, sulit untuk melacak seperti apa proses perkembangan nagham
tersebut hingga memunculkan berbagai bentuk varian nagham seperti
dikenal saat ini. Hal itu disebabkan tidak ada bukti yang dapat dikaji, karena
belum ada alat perekam suara.
Dalam buku Jamâl al-Tilâwah fî
al-Shawt wa al-Nagham yang diterbitkan oleh Jam`iyyat al-Qur`an al-karîm
li al-Tawjîh wa al-Irsyâd, Beirut pada tahun 2012, disebutkan Ubaidillah
(w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, adalah yang pertama
kali membaca Al-Qur`an dengan nada dan irama dalam maqâmât seperti
dikenal saat ini. Selain berprofesi sebagai qâdhî (hakim)di Basrah ia
dikenal memiliki suara bacaan Al-Qur`an yang merdu. Kajian tentang nada dan
irama Arab dalam bentuk musik dimulai pada permulaan masa dinasti Abbasiyah,
dan selanjutnya berkembang sepanjang sejarah di berbagai kawasan wilayah Islam.
Penemuan bentuk-bentuk nagham
tersebut tidak terlepas dari penghayataan masyarakat Muslim di beberapa wilayah
pada masa awal Islam terhadap pesan-pesan Al-Qur’an. Setiap wilayah memiliki
kekhasan, seperti nada bayati yang lahir dari sebuah keluarga al-Bayâti
di Irak; Nahawand, sebuah kota di Iran; Hijaz, sebuah kota di jazirah Arab;
Rost dan Sika yang berasal dari bahasa Persia. Dari nama-nama tersebut, tidak
semuanya berasal dari Arab, sehingga dapat disebut sebagai nada dan irama Arab
(luhûn al-Arab).
Langgam tersebut mengekspresikan
pesan Al-Qur’an yang ingin disampaikan. Misal, langgam Shabâ, menggambarkan
suasana rohani dan emosi yang menggelora, sehingga sangat tepat untuk ayat-ayat
azab dan kesedihan. Sebaliknya, langgam Nahawand penuh nuansa kegembiraan,
sehingga tepat untuk melantunkan ayat tentang surga dan nikmat karunia Allah
lainnya. Dasar penggunaan nagham, seperti kata qari terkemuka asal
Mesir, Al-Thablawi, adalah makna, bukan sekadar rasa atau karsa.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan, kendati Nabi menganjurkan untuk melantunkan Al-Qur`an dengan suara
merdu, tetapi beliau tidak menetapkan bentuk lagu atau nada dan irama tertentu
dalam bacaan, sehingga kita tidak dapat berkata lagu bacaan Al-Qur`an bersifat tawqîfiy
(ditetapkan). Dengan demikian, varian bacaan terbuka bagi kreatifitas manusia
sepanjang sejarah, sesuai dengan perkembangan estetika dan rasa seni manusia.
Hukum Membaca Al-Qur`an dengan Lagu
Para ulama sepanjang sejarah umat
Islam (salaf dan khalaf) sepakat, seperti dinyatakan oleh
al-Nawawi, tentang kebolehan dan anjuran memperindah suara dalam bacaan
Al-Qur`an, dengan memperhatikan unsur tartîl, yaitu ketepatan dalam
melafalkan bacaan sesuai dengan ilmu tajwid dan qirâ`at. Bacaan indah
dan merdu tentu akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan dalam hati, serta
mendorong akal pikiran untuk mengambil pelajaran.
Mereka juga bersepakat dalam hal
larangan membaca Al-Qur`an dengan lagu yang dilantunkan secara berlebihan,
sehingga berpotensi merubah kata dan maknanya, seperti membaca pendek huruf yang
seharusnya dipanjangkan, atau sebaliknya memendekkan bacaan huruf yang
seharusnya dibaca panjang. Lagu bacaan yang berlebihan dan berakibat menambah
huruf atau menghilangkannya (al-tamthîth), menurut al-Nawawi, haram
hukumnya. Bukan hanya bagi pembacanya, tetapi seperti kata al-Mawardi, juga
bagi pendengarnya (al-Tibyân fî Âdâb Hamalatil Qur`ân, h. 107-108).
*) Penulis adalah Kepala Lajnah
Pentshihan Al-Quran Kementerian Agama Republik Indonesia. Makalah ini
disampaikan dan dibagikan secara umum dalam Seminar Nasional ”Kontroversi
Tilawah Langgam Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Jam’iyyatul
Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) pada 16 Juni 2015 di Jakarta.
Sumber : www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar