Selasa, 23 Juni 2015

Menimbang Argumen Bacaan Al-Qur’an Langgam Nusantara (Bagian 1 )


Oleh : Muchlis M Hanafi

Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Cahayanya menjadi penerang bagi manusia dalam meniti jalan menuju kebahagiaan. Sebagai karunia terbesar, Al-Qur`an menjadi obat penyejuk hati dan rahmat bagi siapa pun, lebih-lebih yang berpegang teguh pada petunjuknya. Tak heran, bila umat Islam sepanjang sejarah berupaya memberi perhatian terhadap segala sesuatu yang terkait Al-Qur`an. Tidak ada kitab apa pun di dunia ini yang mendapat perhatian melebihi perhatian umat Islam terhadap Al-Qur`an, mulai dari tulisan, bacaan dan hafalan, sampai kepada pemahaman dan pengamalan. Tidak berlebihan bila ada pakar yang berkata, Al-Qur`an telah menjadi poros bagi peradaban Islam.

Bacaan Al-Qur`an mendapat perhatian besar, bukan saja karena setiap huruf yang dibaca mendatangkan pahala, tetapi juga karena bacaan yang berkualitas akan menambah keimanan dan ketenangan (QS. Al-Anfal: 2). Ketika dibacakan Al-Qur`an, hati orang beriman akan bergetar, dan kulit pun merinding karena keagungan kalam Tuhan (QS. Al-Zumar: 23). Bahkan, seperti dilukiskan dalam QS. Al-Hasyr: 21 gunung-gunung pun tertunduk khusyuk dan pecah berkeping-keping seandainya Al-Qur`an diturunkan kepadanya.
Bacaan dengan suara yang indah dan merdu, lebih-lebih Al-Qur`an, akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan hati serta menarik perhatian untuk didengar, sehingga pesan-pesannya lebih mudah diterima. Ibnu al-Qayyim mengilustrasikannya seperti rasa manis yang diletakkan pada obat. Orang tak akan segan meminumnya, sehingga efek obat akan terasa ketika menyentuh titik penyakit yang akan disembuhkannya.
Rasulullah, dalam banyak riwayat disebutkan senang mendengar bacaan Al-Qur`an yang merdu, bahkan menganjurkan untuk memperindah bacaan. Atas dasar itu, para ulama dan qurrâ` (pembaca dan penghafal Al-Qur`an) mencari formula suara bacaan yang merdu, sehingga terciptalah bentuk-bentuk nagham (nada dan irama bacaan) yang dikenal hingga saat ini. Di antara nada dan irama (naghamât) yang sangat populer adalah Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand. Adalah Ubaidillah (w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, yang pertama kali membaca Al-Qur’an dengan nada dan irama dalam maqâmât seperti dikenal saat ini.

Dari sekian banyak bentuk nagham, tidak diketahui persis suara indah bacaan generasi pada masa Nabi. Apakah menggunakan nada dan irama/ langgam tertentu, atau tidak. Oleh karenanya, sejak dulu para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan membaca Al-Qur`an dengan lagu. Pertanyaan hukum yang muncul, bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah? Apakah dibolehkan menggunakan lagu dalam bacaan? Keterbatasan transmisi suara bacaan generasi awal Islam, karena belum dikenal alat perekam suara, melahirkan perbedaan pandangan di kalangan ulama.

Bila dengan langgam yang sudah populer saja masih diperdebatkan kebolehannya, lebih-lebih bila menggunakan langgam-langgam baru yang belum dikenal sebelumnya, seperti langgam Jawa, Sunda atau lainnya yang ada di Nusantara. Tak pelak, ketika pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015, seorang qari melantunkan bacaan Al-Qur’an dengan cengkok atau langgam Jawa, langkah ini menuai kontroversi. Gagasan ini sebelumnya dilontarkan Menag saat menghadiri Milad ke-18 Bayt Al-Qur`an dan Museum Istiqlal di Jakarta. Ia mengatakan, langgam bacaan Al-Quran khas Nusantara, dengan kekayaan alam dan keragaman etniknya, menarik untuk dikaji dan dikembangkan. Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah ilmu tajwid.

Sebelum itu, dunia Islam pernah dibuat heboh akibat ulah kreatif putra Indonesia. Avip Priatna,salah seorang konduktor terbaik Indonesia dalam khazanah musik klasik,menggelar konser orkestra “The Symphony of My Life” pada 3 Desember 2011.Dalam konser yang diiringi musik oleh Batavia Madrigal Singers (BMS) dan Paduan Suara Mahasiswa Unika Parahyangan, Avip mengalunkan bacaan QS. Al-Hujurat: 13 yang menjelaskan keragaman suku dan bangsa diiringi irama yang mengharukan dengan dinamika bunyi yang menggetarkan.

Persoalan ini perlu mendapat penjelasan hukum, sebab boleh jadi akan muncul kreativitas baru dalam bacaan Al-Qur`an di bawah semangat melantunkan Al-Qur`an dengan suara merdu. Tulisan ini akan berusaha memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang muncul; 1) Bagaimana sebenarnya bacaan Nabi Saw dan para Sahabatnya yang dikenal merdu dan indah?; 2) Bagaimana sejarah munculnya nagham bacaan Al-Qur`an?; 3) Bagaimana pandangan ulama tentang hukum membaca Al-Qur`an dengan lagu?, dan; 4) Apakah dalam melagukan bacaan dibolehkan menggunakan langgam selain langgam yang sudah populer, seperti langgam Nusantara?

 Bacaan Nabi Saw dan Sejarah Naghamât Bacaan Al-Qur`an

Rasulullah adalah panutan dan teladan dalam segala hal yang terkait ibadah, termasuk dalam membaca Al-Qur`an. Bacaan setiap Muslim hendaknya menyerupai bacaan Nabi Saw, sebab beliau menerima langsung Al-Qur`an dari Allah melalui Malaikat Jibril (QS. Al-Syu’ara : 135-139).

Sesuai perintah Allah, bacaan Nabi bersifat tartîl (QS. Al-Muzzammil; 3), yaitu perlahan-lahan dalam melafalkan huruf-huruf Al-Qur`an, sehingga bunyi huruf tersebut keluar dari mulut dengan jelas. Isteri beliau, Aisyah RA, memberi gambaran, huruf-huruf yang keluar mulut beliau seperti bisa dihitung satu per satu. Tujuannya, agar dapat dihafal dan diterima pendengarnya dengan baik. Yang membaca dan mendengarnya pun dapat men-tadabburi makna-maknanya, sehingga ucapan lisan tidak mendahului kerja akal dalam memahami (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 29/260).

Sahabat Nabi, Anas bin Malik, pernah ditanya tentang bacaan Nabi. Ia menjawab, Nabi biasa memanjangkan huruf-huruf yang perlu dibaca panjang untuk meresapi maknanya (HR. Al-Bukhari). Pada setiap akhir ayat Nabi berhenti.

Nabi pernah ditegur oleh Allah ketika membaca Al-Qur`an cepat-cepat mengikuti bacaan Malikat Jibril.
لَاتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَبِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَاجَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19) [القيامة: 16 - 19]
Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya (QS. Al-Qiyamah; 16-19). 

Suara bacaan Nabi pun terdengar indah dan merdu. Salah seorang Sahabat, al-Barra Ibn Azib RA, yang pernah mendengar Nabi membaca surah al-Tin dalam salat melaporkan, tidak ada orang yang bisa menandingi keindahan suara bacaan Nabi. Di lain kesempatan, Abdullah Ibn Mughaffal, mengilustrasikan keindahan suara bacaan Nabi ketika melantunkan surah al-Fath mampu membuat unta yang ditungganginya terperanjat. Saat itu Nabi membacanya dengan lembut dan dengan suara mendayu seperti terulang huruf-hurufnya (tarjî`), yaitu melafalkan huruf alif (â) seperti terulang tiga kali (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).  

Meski memiliki suara merdu, Nabi senang mendengar bacaan merdu dari para sahabatnya. Abdullah Ibnu Mas’ud sempat terheran, mengapa Nabi memintanya membacakan Al-Quran, padahal Al-Qur`an diturunkan kepadanya. Dalam mendengar dan membaca Al-Qur`an tidak jarang air mata bercucuran karena merasakan keagungan Tuhan yang menurunkan Al-Qur`an.

Klan Asy`ari adalah salah satu yang dikenal memiliki suara merdu saat itu. Nabi Saw senang mendengar bacaan Abu Musa al-Asy`ari, bahkan memujinya sebagai orang yang diberi ‘seruling’ Nabi Daud, karena keindahan suaranya. Nabi Daud, seperti diriwayatkan Ibnu Abbas, dikenal sering melantunkan pujian dan doa dalam Zabur hingga mencapai tujuh puluh nada dan irama (lahn) secara bervariasi. Demikian pula Umar bin Khattab sering meminta Abu Musa untuk memperdengarkan bacaannya yang  indah. Ia mengatakan, “siapa yang bisa melantunkan Al-Qur`an dengan lagu seperti Abu Musa, lakukanlah”.

Meski banyak para sahabat Nabi diketahui memiliki suara merdu dalam bacaan Al-Qur’an, dan Nabi menganjurkan untuk memperindah bacaan, tetapi tidak diketahui persis nada dan irama bacaan mereka.
Membaca Al-Qur`an dengan suara merdu disebut dengan beberapa istilah, antara lain al-taghannî, al-tarannum, al-tathrîb, al-tarjî`, al-qirâ`atu bil alhân. Sedangkan nada dan irama atau langgam yang biasa digunakan dalam melantunkan bacaan Al-Qur`an disebut nagham (jamak: naghamât). Bentuk atau tingkatannya disebut maqâmât. Yang paling populer, antara lain Bayati, Shaba, Sikah, Jiharkah, Hijaz, Rost dan Nahawand.

Nagham pada hakikatnya adalah paduan berbagai jenis suara yang tersusun sehingga menjadi bunyi yang beraturan. Pencarian manusia terhadap nagham berlangsung lama, dan bersifat alamiah. Orang biasa mendapatkan suara-suara indah dari desiran angin, suara pepohonan, halilintar, kicauan burung, suara binatang dan sebagainya. Angin yang bertiup di sela-sela pepohonan, seperti pohon bambu, melahirkan suara merdu. Dari situ manusia belajar membuat alat musik seperti seruling. Begitu juga, ketika kayu atau bambu ditabuh atau dipukul akan menimbulkan suara, yang lama kelamaan suara itu dibuat semakin beraturan. Demikian pula suara manusia, ketika berbagai jenis suara dipadukan akan melahirkan nada dan irama yang enak didengar.

Oleh karenanya, ilmu seni suara sudah dikenal lama, paling tidak sejak Yunani kuno. Aristoteles, Plato dan pemikir Yunani lainnya telah berbicara tentang itu. Sebelum Nabi Muhammad lahir, orang-orang Arab sudah mengenal kesenian musik yang digunakan untuk mengiringi nyanyian para budak atau pembacaan syair. Tradisi ini terus berlanjut pada masa Islam, tetapi dengan mengalihkan nada  dan irama pada nyanyian dan syair kepada Al-Qur`an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan naghamât (lagu) Al-Qur`an pada era selanjutnya. Meski dalam perkembangannya, naghamât (lagu) bacaan Al-Qur`an memiliki karakter yang berbeda dengan lagu pada seni musik biasa.

Jadi, penerapan nagham sebagai unsur estetika dalam bacaan Al-Qur`an sudah tumbuh sejak periode awal Islam. Kendati demikian, sulit untuk melacak seperti apa proses perkembangan nagham tersebut hingga memunculkan berbagai bentuk varian nagham seperti dikenal saat ini. Hal itu disebabkan tidak ada bukti yang dapat dikaji, karena belum ada alat perekam suara.

Dalam buku Jamâl al-Tilâwah fî al-Shawt wa al-Nagham yang diterbitkan oleh Jam`iyyat al-Qur`an al-karîm li al-Tawjîh wa al-Irsyâd, Beirut pada tahun 2012, disebutkan Ubaidillah (w. 79 H), putra salah seorang Sahabat Nabi, Abu Bakrah, adalah yang pertama kali membaca Al-Qur`an dengan nada dan irama dalam maqâmât seperti dikenal saat ini. Selain berprofesi sebagai qâdhî (hakim)di Basrah ia dikenal memiliki suara bacaan Al-Qur`an yang merdu. Kajian tentang nada dan irama Arab dalam bentuk musik dimulai pada permulaan masa dinasti Abbasiyah, dan selanjutnya berkembang sepanjang sejarah di berbagai kawasan wilayah Islam.

Penemuan bentuk-bentuk nagham tersebut tidak terlepas dari penghayataan masyarakat Muslim di beberapa wilayah pada masa awal Islam terhadap pesan-pesan Al-Qur’an. Setiap wilayah memiliki kekhasan, seperti nada bayati yang lahir dari sebuah keluarga al-Bayâti di Irak; Nahawand, sebuah kota di Iran; Hijaz, sebuah kota di jazirah Arab; Rost dan Sika yang berasal dari bahasa Persia. Dari nama-nama tersebut, tidak semuanya berasal dari Arab, sehingga dapat disebut sebagai nada dan irama Arab (luhûn al-Arab).

Langgam tersebut mengekspresikan pesan Al-Qur’an yang ingin disampaikan. Misal, langgam Shabâ, menggambarkan suasana rohani dan emosi yang menggelora, sehingga sangat tepat untuk ayat-ayat azab dan kesedihan. Sebaliknya, langgam Nahawand penuh nuansa kegembiraan, sehingga tepat untuk melantunkan ayat tentang surga dan nikmat karunia Allah lainnya. Dasar penggunaan nagham, seperti kata qari terkemuka asal Mesir, Al-Thablawi, adalah makna, bukan sekadar rasa atau karsa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, kendati Nabi menganjurkan untuk melantunkan Al-Qur`an dengan suara merdu, tetapi beliau tidak menetapkan bentuk lagu atau nada dan irama tertentu dalam bacaan, sehingga kita tidak dapat berkata lagu bacaan Al-Qur`an bersifat tawqîfiy (ditetapkan). Dengan demikian, varian bacaan terbuka bagi kreatifitas manusia sepanjang sejarah, sesuai dengan perkembangan estetika dan rasa seni manusia.

Hukum Membaca Al-Qur`an dengan Lagu

Para ulama sepanjang sejarah umat Islam (salaf dan khalaf) sepakat, seperti dinyatakan oleh al-Nawawi, tentang kebolehan dan anjuran memperindah suara dalam bacaan Al-Qur`an, dengan memperhatikan unsur tartîl, yaitu ketepatan dalam melafalkan bacaan sesuai dengan ilmu tajwid dan qirâ`at. Bacaan indah dan merdu tentu akan lebih menyentuh dan menambah kekhusyukan dalam hati, serta mendorong akal pikiran untuk mengambil pelajaran.
Mereka juga bersepakat dalam hal larangan membaca Al-Qur`an dengan lagu yang dilantunkan secara berlebihan, sehingga berpotensi merubah kata dan maknanya, seperti membaca pendek huruf yang seharusnya dipanjangkan, atau sebaliknya memendekkan bacaan huruf yang seharusnya dibaca panjang. Lagu bacaan yang berlebihan dan berakibat menambah huruf atau menghilangkannya (al-tamthîth), menurut al-Nawawi, haram hukumnya. Bukan hanya bagi pembacanya, tetapi seperti kata al-Mawardi, juga bagi pendengarnya (al-Tibyân fî Âdâb Hamalatil Qur`ân, h. 107-108).



*) Penulis adalah Kepala Lajnah Pentshihan Al-Quran Kementerian Agama Republik Indonesia. Makalah ini disampaikan dan dibagikan secara umum dalam Seminar Nasional ”Kontroversi Tilawah Langgam Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) pada 16 Juni 2015 di Jakarta.

 Sumber : www.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar